OPINI - Menarik untuk dicermati dalam beberapa hari belakangan terkait adanya pemberitaan soal sengketa tanah yang selanjutnya disebut Sengketa, antara sdr TP dengan AG terkait objek tanah seluas 20.110 m2, yang terletak di Salembaran Jaya, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, di beberapa media online. Sengketa tanah sebagai Gugatan No. 785/Pdt.G/2021/PN.TNG tersebut menarik untuk dicermati, mengingat terdapat keterangan yang disampaikan oleh Ahli Pajak Bumi dan Bangunan yang menyatakan “bahwa girik bukan sebagai bukti hak kepemilikan tanah, namun ditegaskan bahwa kepemilikan hak atas tanah yang sah dan diakui negara adalah sertifikat.”
Berkaitan dengan keterangan ahli tersebut, maka menarik untuk dibahas terkait dengan beberapa pertanyaan antara lain: apa yang sebenarnya dikualifikasi sebagai sengketa tanah, apa saja yang dapat dikualifikasi sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah, apa perbedaan antara girik/letter C dengan sertifikat, serta apa konsekuensi hukum apabila sertifikat hak atas tanah telah dibatalkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya akan diuraikan terkait bahasan yang pertama mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa tanah sebagaimana Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.
Biasanya, sebuah perkara sengketa tanah yang masuk dalam lingkup hukum perdata atau administrasi negara bisa terjadi karena beberapa faktor yaitu:
Pertama, faktor awamnya pelaku jual-beli lahan terhadap hukum (khususnya pertanahan) yang berlaku di Indonesia. Kedua, sistem sertifikasi tanah yang ada di Indonesia hanya bersifat formalitas. Hingga, sistem peradilan sengketa tanah yang menghabiskan biaya dan waktu yang cukup banyak.
Sengketa tanah haruslah dibedakan dengan masalah “Mafia Tanah” yang dapat dikualifikasi suatu kejahatan klasik yg terorganisir dan memiliki ekpertis yg profesional, yang biasanya modusnya adalah melalui pembuatan dokumen palsu atas bukti kepemilikan hak atas tanah yang bekerjasama dengan oknum yang mempunyai kewenangan dalam penerbitan bukti alas hak palsu, yang biasanya dilakukan secara rapi sehingga sulit untuk diungkap.
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
Kemudian akan diuraikan mengenai apa saja yang dapat dikualifikasi sebagai bukti kepemilikan tanah sebagaimana dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam PP No. 24 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana turunan dari ketentuan Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Secara hukum administrasi pihak yang mempunyai hak atas tanah harus melakukan proses permohonan hak atas tanah tersebut sebagaimana diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Selanjutnya Pasal 1 angka 1 PPNo. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah, menyebutkan bahwa: ”Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Adapun yang dimaksud dengan data yuridis merupakan dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.
Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UUPA), Letter C atau Girik di akui sebagai bukti yang sah atas tanah, tetapi setelah UUPA dan terbit pula PP N0.10 Tahun 1961 sebagaimana telah di rubah dengan PP N0.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah, maka sertifikat merupakan bukti kepemilikan yang mempunyai fungsi pembuktian lebih kuat karena merupakan hasil dari proses permohonan pendaftaran tanah. Dalam praktek pendaftaran tanah, menurut UU N0.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, letter c atau girik merupakan alas hak awal yang merupakan bukti kepemilikan atas tanah, namun kekuatan pembuktian nya di dalam Hukum Perdata tidak bersifat sempurna. Letter C tidak bisa di jadikan sebagai alat bukti tunggal, sehingga harus ada bukti-bukti yang lain seperti:Patok Tanah.PBB serta bukti pembayaran nya.Surat Keterangan Riwayat Tanah dari Kelurahan.Akta Jual Beli atau Akta Peralihan Hak lainnya.Dan alas hak penguasaan lainnya.
Tentang minim nya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang kepemilikan tanah, dan masih banyak masyarakat yang memperjual belikan, atau mengalihkan, atau mewariskan yang dasar perolehan nya dari Girik dan masih terjadi mutasi Girik yang di dasarkan oleh Akta-Akta tanpa di daftarkan di kantor pertanahan,
oleh karena banyak nya permasalahan, tumpang tindih Girik, serta ketidak pastian tentang Tanah maka Dirjen Pajak Tanggal 27 Maret 1993 mengeluarkan surat edaran Nomor: SE-15/PJ.G/1993 tentang Larangan menerbitkan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Obyek Tanah,
Selanjutnya apakah perbedaan letter C dan girik? Pada prinsip nya sama saja, karena berisi tentang catatan yang sama, dahulu ketika masih berlaku IPEDA (Iuran pendapatan Daerah) para kepala desa atau lurah membuat catatan tersebut di sebuah buku yang di beri nama buku C semakin bertambah halaman maka nomor C nya semakin besar.
Contoh misal nama saya dalam halaman buku C. 2090 agar saya memiliki catatan yang bernomor C.2090 kepala desa mengeluarkan salinan C.2090 untuk saya maka salinan tersebut lah yang sering di sebut Girik. Itulah informasi mengenai kepemilikan tanah,
Maka untuk meningkatkan pengakuan hak milik atas tanah yang berupa Tanah adat, Girik, Letter C segera di daftarkan permohonan atas kepemilikan tanah tersebut untuk memperoleh Hak atas Tanah pada Badan pertanahan yang di sebut dengan sertifikat,
pengakuan Hak milik atas tanah yang di tuangkan dalam bentuk Sertipikat merupakan tanda bukti hak atas tanah berdasarkan pasal 19 Ayat (2) UUPA dan pasal 31 PP N0 24 Tahun 1997.
Sedangkan perbedaan antara girik/letter C dengan sertifikat dengan berlakunya UUPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) tersebut diatas, dalam hukum perdata terkait soal sempurna atau tidaknya sebagai alat bukti.
Secara yuridis formal memang sertifikat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dengan catatan bahwa dalam proses permohonan hak melalui pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah dilakukan tanpa adanya cacat prosedur dan juga cacat subtansi.
Apabila dapat dibuktikan sebaliknya bahwa proses permohonan hak melalui mekanisme pendaftaran tanah tersebut terdapat cacat prosedur dan juga cacat subtansi terutama terkait dengan data yuridis sebagaimana diuraikan diatas, maka sertifikat yang dihasilkan oleh BPN tidak lagi merupakan pembuktian yang mempunyai kualitas sempurna.
Adapun pembahasan yang terakhir dalam kasus diatas yang menjadi perhatian publik di berbagai media online maupun media lainnya yang juga tidak boleh dilupakan dalam sengketa tersebut, yang menarik untuk dicermati yaitu adanya Putusan No. 13/G/2018/PTUN - SRG, tanggal 19 September 2018, yang amar putusannya antara lain: “Menyatakan batal Sertipikat Hak Milik Nomor 2503d/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, Gambar Situasi Nomor 23089 tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110 M2 atas nama Tonny Permana, ” .
Putusan PTUN tersebut telah dikuatkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incracht) berdasarkan Peninjauan Kembali (PK), Putusan No. 10 PK/TUN/2020, tanggal 30 Januari 2020, yang amar putusannya antara lain: Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali AHMAD GOZALI, MM, Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 177 K/TUN/2019, tanggal 9 April 2019 yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dengan Putusan Nomor 306/B/2018/PTUN-SRG, tanggal 26 September 2018, Menyatakan batal Sertifikat Hak Milik Nomor 2503/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, Gambar Situasi Nomor 23089 tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110 M2 atas nama Tonny Permana.
Selanjutnya berdasarkan Putusan PK tersebut yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka telah dilaksanakan eksekusi Putusan PK TUN pada Tanggal 12 Maret 2021, dimana BPN Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang melalui Kantor Wilayah BPN Provinsi Banten telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 2/Pbt/BPN.36/III/2021 tentang Pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 02503/Salembaran Jaya, Seluas 20.110 M2 Terakhir Tercatat Atas Nama Tonny Permana Terletak Di Kelurahan Salembaran Jaya (Dahulu Desa Salembaran Jaya), Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
Berdasarkan uraian tersebut diatas terkait adanya pembatalan Sertifikat Hak Milik yang mendasarkan pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan eksekusinya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai kewenangannya, maka secara mutatis muntadis,
SHM yang telah dibatalkan tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan hukum untuk dijadikan sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah yang menjadi obyek sengketa tersebut.
Dengan kalimat lain bahwa sertifikat tanah yang telah dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkuatan hukum tetap bukanlah menjadi bukti kepemilikan hak atas tanah dan oleh karenanya sertifikat yang telah dibatalkan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 Ayat (2) UUPA dan pasal 31 PP N0 24 Tahun 1997.
Penulis : Prof. Dr. Agus Surono, SH., MH Guru Besar Tetap Ilmu Hukum Universitas Pancasila